Menurut teori evolusi,
kehidupan berawal dan berevolusi di laut, kemudian amfibi
memindahkannya ke darat. Skenario evolusi ini juga
menyatakan bahwa amfibi kemudian berevolusi menjadi reptil,
makhluk yang hanya hidup di darat. Sekali lagi skenario ini tidak
masuk akal, karena terdapat perbedaan-perbedaan struktural
yang jauh antara dua kelompok besar hewan ini. Misalnya,
telur amfibi didesain untuk berkembang di dalam air
sedangkan telur amniotik reptil didesain untuk berkembang
di darat. Evolusi "bertahap" amfibi adalah mustahil,
sebab tanpa telur yang didesain dengan baik dan sempurna,
tidak mungkin sebuah spesies dapat bertahan hidup. Selain
itu, seperti biasa, tidak ada bukti bentuk transisi yang mestinya
menghubungkan amfibi dengan reptil. Robert L. Carrol, seorang
ahli paleontologi evolusionis dengan spesialisasi di
bidang paleontologi vertebrata, mengakui bahwa "reptil-reptil awal sangat berbeda dengan amfibi dan nenek moyang mereka belum dapat ditemukan." 1
Akan
tetapi, skenario evolusionis tanpa harapan ini belum
juga berakhir. Masih ada masalah, bagaimana membuat mahkluk-makhluk
ini bisa terbang! Karena mempercayai burung sebagai hasil
evolusi, evolusionis berkeras bahwa burung-burung
tersebut berasal dari reptil. Akan tetapi, tidak ada satu
pun mekanisme khas burung dengan struktur yang
sepenuhnya berbeda dengan binatang darat dapat dijelaskan dengan
evolusi bertahap. Misalnya sayap, sebagai satu ciri khas burung,
merupakan jalan buntu bagi para evolusionis. Seorang
evolusionis dari Turki, Engin Korur, mengakui
kemustahilan evolusi sayap:
Ciri yang sama antara mata dan sayap adalah bahwa keduanya hanya berfungsi jika telah berkembang sempurna. Dengan kata lain, mata setengah jadi tidak dapat melihat; seekor burung dengan sayap setengah jadi tidak dapat terbang. Tentang bagaimana organ-organ ini muncul, masih merupakan salah satu misteri alam yang perlu dicari penjelasannya. 2
Pertanyaan
bagaimana struktur sayap yang sempurna muncul dari
serangkaian mutasi acak, masih belum terjawab sama sekali.
Adalah penjelasan yang tidak mungkin bahwa lengan depan reptil dapat
berubah menjadi sayap yang berfungsi sempurna sebagai
hasil distorsi pada gen-gennya (mutasi).
Lagi
pula, sekadar memiliki sayap tidak memadai bagi
organisme darat untuk terbang. Organisme darat tidak memiliki
mekanisme-mekanisme struktural lain yang digunakan burung
untuk terbang. Misalnya, tulang-tulang burung jauh lebih
ringan daripada tulang-tulang organisme darat. Cara
kerja paru-paru mereka sangat berbeda. Mereka memiliki sistem
otot dan rangka yang berbeda dan sistem jantung-peredaran darah
yang sangat khas. Ciri-ciri ini adalah prasyarat untuk bisa
terbang, yang sama pentingnya dengan sayap. Semua
mekanisme ini harus ada seluruhnya pada saat bersamaan;
semuanya tidak mungkin terbentuk sedikit demi sedikit
dengan cara "terakumulasi". Karena itulah teori yang
menyatakan bahwa organisme darat berevolusi menjadi organisme
terbang benar-benar menyesatkan.
Semua
ini menimbulkan pertanyaan baru: kalaupun kisah mustahil
ini kita anggap benar, mengapa evolusionis tidak mampu
menemukan fosil-fosil "bersayap setengah" atau "bersayap tunggal"
untuk mendukung kisah mereka?
Satu Lagi Bentuk Transisi Hipotetis: Archæopteryx
Sebagai
jawaban, evolusionis mengajukan satu makhluk yaitu fosil
bu-rung yang disebut Archæopteryx. Burung ini dikenal
luas sebagai salah satu 'bentuk transisi' dari hanya beberapa yang
masih mereka pertahankan. Archæopteryx, nenek moyang burung
modern menurut kaum evolusionis, hidup 150 juta tahun
lalu. Teori tersebut menyatakan bahwa sejenis dinosaurus
berukuran kecil yang disebut Velociraptor atau
Dromeosaurus berevolusi dengan mendapatkan sayap dan
kemudian mulai terbang. Archæopteryx diasumsikan sebagai makhluk
transisi dari dinosaurus, nenek moyangnya, dan kemudian terbang
untuk pertama kalinya.
Paru-Paru Khusus untuk Burung
Anatomi
burung sangat berbeda dengan reptil, yang dianggap
sebagai nenek moyangnya. Cara paru-paru burung
berfungsi sekali berbeda dengan paru-paru binatang
darat. Binatang darat menghirup dan mengembuskan napas melalui
saluran udara yang sama. Pada burung, udara memasuki
paru-paru melalui bagian depan, dan keluar dari
paru-paru melalui bagian belakang. "Desain" khas
ini secara khusus dibuat untuk burung, yang
membutuhkan oksigen dalam jumlah besar pada saat terbang.
Struktur seperti ini mustahil hasil evolusi dari paru-paru
reptil.
Akan tetapi, penelitian terakhir
pada fosil Archæopteryx menunjukkan bahwa makhluk ini
sama sekali bukan bentuk transisi, melainkan spesies
burung dengan beberapa karakteristik yang berbeda dari burung masa
kini.
Hingga
beberapa waktu yang lalu, pernyataan bahwa Archæopteryx
merupakan makhluk "separo burung" yang tidak dapat terbang dengan
sempurna, masih sangat populer di kalangan evolusionis.
Ketiadaan sternum (tulang dada) pada makhluk ini, atau
paling tidak perbedaannya dengan sternum milik unggas
yang dapat terbang, dianggap sebagai bukti paling penting
bahwa burung ini tidak dapat terbang secara sempurna.
(Tulang dada terdapat di bawah toraks, sebagai tempat
bertambatnya otot-otot yang digunakan untuk terbang. Pada masa kini,
tulang dada terdapat pada semua unggas yang dapat atau tidak
dapat terbang, dan bah-kan pada kelelawar - mamalia
terbang dari famili yang sangat berbeda).
Namun, fosil Archæopteryx ketujuh yang ditemukan pada tahun 1992
menimbulkan kegemparan luar biasa di kalangan evolusionis.
Pada fosil Archæopteryx tersebut, tulang dada yang sejak lama
dianggap hilang oleh evolusionis ternyata benar-benar
ada. Fosil temuan terakhir itu digambarkan oleh majalah
Nature sebagai berikut:
Fosil Archæopteryx ketujuh yang baru-baru ini ditemukan masih memiliki sebagian sternum berbentuk persegi panjang. Sternum ini sudah lama diperkirakan ada, tetapi tidak pernah terdokumentasikan sebelumnya. Temuan tersebut membuktikan bahwa makhluk ini memiliki otot-otot kuat untuk terbang. 3
Penemuan
ini menggugurkan pernyataan bahwa Archæopteryx adalah
makhluk setengah burung yang tidak dapat terbang dengan baik.
Di
sisi lain, struktur bulu burung tersebut menjadi salah
satu bukti terpenting yang menegaskan bahwa Archæopteryx benar-benar
burung yang dapat terbang. Struktur bulu Archæopteryx yang
asimetris tidak berbeda dari burung modern, menunjukkan
bahwa binatang ini dapat terbang dengan sempurna. Seorang
ahli paleontologi terkenal, Carl O. Dunbar menyatakan,
"Karena bulunya, Archæopteryx dipastikan termasuk kelas
burung." 4
Fakta
lain yang terungkap dari struktur bulu Archæopteryx
adalah bahwa hewan ini berdarah panas. Sebagaimana telah diketahui,
reptil dan dinosaurus adalah binatang berdarah dingin yang
dipengaruhi oleh suhu lingkungan, dan tidak dapat
mengendalikan sendiri suhu tubuh mereka. Fungsi
terpenting bulu burung adalah untuk mempertahankan suhu
tubuh. Fakta bahwa Archæopteryx memiliki bulu menunjukkan bahwa
makhluk ini benar-benar seekor burung berdarah panas yang perlu
mempertahankan suhu tubuh, sementara dinosaurus tidak.
Spekulasi Evolusionis: Gigi dan Cakar Archæopteryx
Dua
hal penting yang diandalkan kaum evolusionis ketika
menyatakan bahwa Archæopteryx merupakan bentuk transisi, adalah
cakar pada sayap burung itu dan giginya.
Memang benar bahwa Archæopteryx
memiliki cakar pada sayapnya dan gigi dalam mulutnya,
tetapi ciri-ciri ini tidak berarti bahwa makhluk ini
berkerabat dengan reptil. Di samping itu, dua spesies burung
yang hidup saat ini, Taouraco dan Hoatzin, keduanya memiliki cakar
untuk berpegangan pada cabang-cabang pohon. Kedua makhluk
ini sepenuhnya burung tanpa karakteristik reptil. Karena
itu, pernyataan bahwa Archæopteryx adalah bentuk transisi
hanya karena cakar pada sayapnya, sama sekali tidak
berdasar.
Gigi
pada paruh Archæopteryx juga tidak menunjukkan bahwa
makhluk ini adalah bentuk transisi. Evolusionis sengaja melakukan
penipuan dengan mengatakan bahwa gigi-gigi ini adalah
karakteristik reptil. Bagaimanapun, gigi bukan ciri khas
reptil. Kini, banyak reptil yang memang bergigi, dan
banyak pula yang tidak. Lagi pula, Archæopteryx bukan
satu-satunya spesies burung yang memiliki gigi. Memang
benar bahwa saat ini tidak ada lagi burung yang memiliki
gigi. Namun jika kita mengamati catatan fosil, kita akan menemukan
bahwa di zaman Archæopteryx dan setelahnya, bahkan hingga
baru-baru ini, terdapat suatu genus burung yang dapat
dikategorikan sebagai "burung bergigi".
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FOKUS: Desain Bulu Burung
Teori
evolusi, yang menyatakan bahwa burung
berevolusi dari reptil, tidak mampu menjelaskan
perbedaan besar antara dua golongan makhluk
hidup tersebut. Dilihat dari ciri-ciri fisik
seperti struktur kerangka, sistem paru-paru dan
metabolisme berdarah panas, burung sangat berbeda dengan
reptil. Satu ciri lain yang merupakan dinding pemisah
antara burung dan reptil adalah bulu burung yang
benar-benar khas.
Tubuh
reptil dipenuhi sisik, sedangkan tubuh burung
tertutup bulu. Karena evolusionis menganggap
reptil sebagai nenek moyang burung, mereka
harus mengatakan bahwa bulu burung adalah hasil
evolusi dari sisik reptil. Akan tetapi, tidak
ada kemiripan antara sisik dan bulu.
Seorang
profesor fisiologi dan neuro-biologi dari
Universitas Connecticut, A.H. Brush, mengakui kenyataan
ini meskipun ia seorang evolusionis: "Setiap karakteristik
dari struktur dan organisasi gen hingga
perkembangan, morfogenesis dan organisasi
jaringan sangat berbeda (pada bulu dan
sisik)."1 Di samping itu, Prof. Brush meneliti
struktur protein bulu burung dan menyatakan bahwa protein
tersebut "sangat khas dan tidak dijumpai pada vertebrata
lain." 2
Tidak ada catatan
fosil yang membuktikan bahwa bulu burung
berevolusi dari sisik reptil. Sebaliknya seperti
di-ungkapkan Prof. Brush, "Bulu-bulu muncul tiba-tiba
dalam catatan fosil, secara tak terbantahkan sebagai ciri
unik yang membedakan burung." 3 Di samping itu, pada
reptil tidak ditemukan struktur epidermis yang
dirujuk sebagai asal mula bulu burung.4
Pada
tahun 1996, ahli-ahli paleontologi membuat
kegemparan tentang fosil suatu spesies yang disebut dinosaurus
berbulu, yang dinamakan Sinosauropteryx. Akan tetapi,
pada tahun 1997, terungkap bahwa fosil-fosil ini
tidak berhubungan dengan burung dan bulu mereka
bukan bulu modern.5
Sebaliknya, jika kita
mengamati bulu burung secara saksama, kita
mendapati suatu desain sangat kompleks yang
sama sekali tidak dapat dijelaskan dengan proses
evolusi. Seorang ahli burung terkenal, Alan Feduccia,
mengatakan bahwa "setiap lembar bulu me-miliki fungsi-fungsi
aerodinamis. Bulu-bulu tersebut sangat ringan,
dengan daya angkat yang membesar pada kecepatan
semakin rendah, dan dapat kembali pada posisi
semula dengan sangat mudah". Selanjutnya ia
mengatakan, "Saya benar-benar tidak mengerti
bagaimana sebuah organ yang didesain sempurna untuk terbang
dianggap muncul untuk tujuan lain pada awalnya".6
Desain
bulu juga memaksa Charles Darwin merenungkannya.
Bahkan, keindahan sempurna dari bulu merak jantan telah
membuatnya "muak" (perkataannya sendiri). Dalam sebuah
suratnya untuk Asa Gray pada tanggal 3 April 1860,
ia mengatakan, "Saya ingat betul ketika
pemikiran tentang mata membuat sekujur tubuh
saya demam, tetapi saya telah melewati itu...."
Kemudian diteruskan: "... dan sekarang suatu
bagian-bagian kecil di sebuah struktur sering membuat
saya sangat tidak nyaman. Sehelai bulu pada ekor merak,
membuat saya muak setiap kali menatapnya, ".7
Teori
evolusi, yang menyatakan bahwa burung
berevolusi dari reptil, tidak mampu menjelaskan perbedaan
besar antara dua golongan makhluk hi-dup tersebut. Dilihat
dari ciri-ciri fisik seperti struktur kerangka,
sistem paru-paru dan metabolisme berdarah
panas, burung sangat berbeda dengan reptil.
Satu ciri lain yang merupakan dinding pemisah
antara burung dan reptil adalah bulu burung yang
benar-benar khas.
Tubuh reptil dipenuhi sisik,
sedangkan tubuh burung tertutup bulu. Karena
evolusionis menganggap reptil sebagai nenek
moyang burung, mereka harus mengatakan bahwa
bulu burung adalah hasil evolusi dari sisik reptil. Akan
tetapi, tidak ada kemiripan antara sisik dan bulu.
Seorang
profesor fisiologi dan neuro-biologi dari
Universitas Connecticut, A.H. Brush, mengakui kenyataan
ini meskipun ia seorang evolusionis: "Setiap karakteristik
dari struktur dan organisasi gen hingga
perkembangan, morfogenesis dan organisasi
jaringan sangat berbeda (pada bulu dan
sisik)."1 Di samping itu, Prof. Brush meneliti
struktur protein bulu burung dan menyatakan bahwa protein
tersebut "sangat khas dan tidak dijumpai pada vertebrata
lain." 2
Tidak ada catatan
fosil yang membuktikan bahwa bulu burung
berevolusi dari sisik reptil. Sebaliknya seperti
di-ungkapkan Prof. Brush, "Bulu-bulu muncul tiba-tiba
dalam catatan fosil, secara tak terbantahkan sebagai ciri
unik yang membedakan burung." 3 Di samping itu, pada
reptil tidak ditemukan struktur epidermis yang
dirujuk sebagai asal mula bulu burung.4
Pada
tahun 1996, ahli-ahli paleontologi membuat
kegemparan tentang fosil suatu spesies yang disebut dinosaurus
berbulu, yang dinamakan Sinosauropteryx. Akan tetapi,
pada tahun 1997, terungkap bahwa fosil-fosil ini
tidak berhubungan dengan burung dan bulu mereka
bukan bulu modern.5
Sebaliknya, jika kita
mengamati bulu burung secara saksama, kita
mendapati suatu desain sangat kompleks yang
sama sekali tidak dapat dijelaskan dengan proses
evolusi. Seorang ahli burung terkenal, Alan Feduccia,
mengatakan bahwa "setiap lembar bulu memiliki fungsi-fungsi
aerodinamis. Bulu-bulu tersebut sangat ringan,
dengan daya angkat yang membesar pada kecepatan
semakin rendah, dan dapat kembali pada posisi
semula dengan sangat mudah". Selanjutnya ia
mengatakan, "Saya benar-benar tidak mengerti
bagaimana sebuah organ yang didesain sempurna untuk terbang
dianggap muncul untuk tujuan lain pada awalnya".6
Desain
bulu juga memaksa Charles Darwin merenungkannya.
Bahkan, keindahan sempurna dari bulu merak jantan telah
membuatnya "muak" (perkataannya sendiri). Dalam sebuah
suratnya untuk Asa Gray pada tanggal 3 April 1860,
ia mengatakan, "Saya ingat betul ketika
pemikiran tentang mata membuat sekujur tubuh
saya demam, tetapi saya telah melewati itu...."
Kemudian diteruskan: "... dan sekarang suatu
bagian-bagian kecil di sebuah struktur sering membuat
saya sangat tidak nyaman. Sehelai bulu pada ekor merak,
membuat saya muak setiap kali menatapnya, ".7
1
A. H. Brush, "On the Origin of Feathers",
Journal of Evolutionary Biology, Vol. 9, 1996,
s. 132.
2 A. H. Brush, "On the Origin of Feathers", s. 131.
3 A. H. Brush, "On the Origin of Feathers", s. 133.
4 A. H. Brush, "On the Origin of Feathers", s. 131.
5"Plucking the Feathered Dinosaur", Science, Cilt 278, 14 Kasým 1997, s. 1229.
6 Douglas Palmer, "Learning to Fly", (Review of The Origin of and Evolution of Birds by Alan Feduccia, Yale University Press, 1996), New Scientist, Cilt 153, 1 Mart 1997, s. 44.
7 Norman Macbeth, Darwin Retried: An Appeal to Reason. Boston: Gambit, 1971, s. 101.
2 A. H. Brush, "On the Origin of Feathers", s. 131.
3 A. H. Brush, "On the Origin of Feathers", s. 133.
4 A. H. Brush, "On the Origin of Feathers", s. 131.
5"Plucking the Feathered Dinosaur", Science, Cilt 278, 14 Kasým 1997, s. 1229.
6 Douglas Palmer, "Learning to Fly", (Review of The Origin of and Evolution of Birds by Alan Feduccia, Yale University Press, 1996), New Scientist, Cilt 153, 1 Mart 1997, s. 44.
7 Norman Macbeth, Darwin Retried: An Appeal to Reason. Boston: Gambit, 1971, s. 101.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hal yang terpenting adalah bahwa struktur
gigi Archæopteryx dan burung-burung lain yang bergigi
sama sekali berbeda dengan struktur gigi dinosaurus,
yang dianggap nenek moyang mereka. Beberapa ahli
ornitologi terkenal, Martin, Steward dan Whetstone mengamati
bahwa Archæopteryx dan burung-burung bergigi lainnya memiliki gigi
dengan permukaan-atas datar dan berakar besar. Namun, gigi
dinosaurus teropoda, nenek moyang hipotetis
burung-burung ini, menonjol seperti gerigi gergaji dan
memiliki akar menyempit.5 Para
peneliti juga membandingkan tulang-tulang pergelangan
pada Archæopteryx dan dinosaurus, dan tidak menemukan
kemiripan di antara mereka. 6
John
Ostrom adalah seorang ahli terkemuka yang menyatakan
bahwa Archæopteryx berevolusi dari dinosaurus. Namun penelitian
ahli anatomi seperti Tarsitano, Hecht dan A.D. Walker
mengungkapkan bahwa pendapatnya tentang sejumlah
"kemiripan" antara Archæopteryx dan dinosaurus, pada
kenyataannya adalah penafsiran yang salah.7
Semua
penemuan ini menunjukkan bahwa Archæopteryx bukanlah
bentuk transisi, melainkan hanya sejenis burung yang termasuk kategori
"burung bergigi".
Archæopteryx dan Fosil-Fosil Burung Purba Lainnya
Selama
beberapa dekade evolusionis menyatakan Archæopteryx
sebagai bukti terbesar skenario evolusi burung, namun beberapa fosil
yang baru ditemukan menggugurkan skenario tersebut.
Burung yang dinamakan Confuciusornis ini berusia sama dengan Archæopteryx |
Lianhai
Hou dan Zhonghe Zhou, dua ahli paleontologi dari
Institut Paleontologi Vertebrata Cina, pada tahun 1995 menemukan
fosil burung baru yang mereka namai Confuciusornis. Usia
fosil burung ini hampir sama dengan Archæopteryx (sekitar
140 juta tahun), tetapi tidak bergigi. Selain itu, paruh
dan bulunya memiliki ciri yang sama dengan burung masa
kini. Selain memiliki struktur rangka yang sama dengan
burung modern, sayap burung ini juga memiliki cakar
seperti Archæopteryx. Pada spesies burung ini dijumpai struktur
khusus yang disebut "pygostyle" yang menopang bulu-bulu ekor.
Singkatnya, burung ini tampak sangat menyerupai burung
modern, walau hidup semasa dengan Archæopteryx yang
dianggap sebagai nenek moyang tertua dari semua burung
dan disebut semi-reptil. Kenyataan ini menggugurkan semua
anggapan evolusionis yang menyatakan bahwa Archæopteryx adalah
nenek moyang primitif dari semua burung.8
Jika detail bulu burung diteliti, akan terlihat
bahwa bulu tersusun atas ribuan tendril kecil
yang saling menempel dengan kaitan. Desain unik
ini menghasilkan kinerja aerodinamis luar
biasa.
|
Satu
fosil lagi yang ditemukan di Cina pada bulan November
1996, telah menimbulkan kebingungan yang lebih besar. Keberadaan
burung berusia 130 juta tahun bernama Liaoningornis ini
diumumkan dalam majalah Science oleh Hou, Martin dan Alan
Feduccia. Liaoningornis memiliki tulang dada tempat
menempel otot-otot untuk terbang, seperti burung modern.
Dalam hal lain, burung ini juga tidak berbeda dengan
burung modern. Yang berbeda hanya giginya. Keadaan ini menunjukkan
bahwa burung bergigi tidak memiliki struktur primitif sama
sekali seperti anggapan evolusionis.9 Hal
ini dinyatakan dalam sebuah artikel Discover "Dari mana
burung berasal? Bukan dari dinosaurus, menurut fosil ini
". 10
Fosil
lain yang membantah pernyataan evolusionis tentang
Archæopteryx adalah Eoalulavis. Struktur sayap Eoalulavis, yang
diperkirakan berusia 30 juta tahun lebih muda dari Archæopteryx,
juga ditemukan pada burung modern yang terbang dengan
lambat. Ini membuktikan bahwa 120 juta tahun lalu,
terdapat burung-burung yang dalam banyak aspek tidak
berbeda dengan burung modern.11
Kenyataan
ini sekali lagi memastikan bahwa Archæopteryx atau
burung-burung purba lain yang mirip dengannya bukan bentuk-bentuk
transisi. Fosil-fosil tersebut tidak menunjukkan bahwa
pesies-spesies burung berevolusi dari satu ke yang lain.
Bahkan sebaliknya, catatan fosil membuktikan bahwa burung
modern dan sejumlah burung-burung purba seperti
Archæopteryx ternyata pernah hidup bersama pada satu
zaman. Akan tetapi, beberapa spesies burung ini seperti Archæopteryx
dan Confuciusornis telah punah dan hanya sebagian dari
spesies-spesies yang pernah ada mampu bertahan hingga
sekarang.
Ringkasnya, beberapa
ciri khas Archæopteryx tidak menunjukkan bahwa makhluk
ini adalah bentuk transisi! Stephan Jay Gould dan Niles
Eldredge, dua ahli paleontologi Harvard dan evolusionis terkenal,
mengakui bahwa Archæopteryx adalah makhluk hidup yang memiliki
"paduan" dari beragam ciri, akan tetapi tidak dapat
dianggap sebagai bentuk transisi! 12
Mata Rantai Imajiner Antara Burung dan Dinosaurus
Pernyataan
yang ingin dikemukakan para evolusionis dengan
menampilkan Archæopteryx sebagai bentuk transisi, adalah bahwa burung
merupakan hasil evolusi dari dinosaurus. Namun, salah
seorang ahli ornitologi terkemuka di dunia, Alan Feduccia
dari Universitas North Carolina, menentang teori bahwa
burung memiliki kekerabatan dengan dinosaurus, sekalipun
ia sendiri seorang evolusionis. Berkenaan dengan hal ini
Feduccia mengatakan:
FOKUS : Bagaimana dengan Lalat?
Untuk
menguatkan pernyataan bahwa dinosaurus berubah
menjadi burung, evolusionis mengatakan bahwa sejumlah
dinosaurus yang mengepakkan kaki depan untuk berburu lalat
telah "menda-patkan sayap dan terbang" (seperti yang
terlihat dalam gambar). Karena teori ini tidak
memiliki landasan ilmiah dan tidak lebih dari
sekadar khayalan, timbullah sebuah kontradiksi
logis yang nyata: contoh yang disebutkan
evolusionis saat menjelaskan asal mula kemampuan terbang,
yaitu lalat, telah memiliki kemampuan terbang yang sempurna.
Sementara manusia tidak mampu mengedipkan mata
10 kali per detik, seekor lalat biasa
mengepakkan sayapnya 500 kali per detik. Di
samping itu, lalat meng-gerakkan kedua sayapnya
secara serempak. Sedikit saja ada ketidaksesuaian
pada getaran sayap, lalat akan kehilangan keseimbangan;
tetapi ini tidak pernah terjadi.
Evolusionis
seharusnya lebih dulu menjelaskan bagaimana
lalat mendapatkan kemampuan terbang yang sempurna.
Tetapi mereka justru mengarang skenario tentang bagaimana
makhluk yang jauh lebih canggung seperti reptil bisa
terbang.
Bahkan penciptaan sempurna pada lalat
rumah menggugurkan pernyataan evolusi. Seorang
ahli biologi Inggris, Robin Wootton, menulis
dalam artikel berjudul "The Mechanical Design
of Fly Wings (Desain Mekanis pada Sayap
Lalat)":
"Semakin baik kita memahami fungsi sayap
serangga, semakin tampak betapa rumit dan
indahnya desain sayap mereka. Strukturnya sejak
semula didesain agar seminimal mungkin
mengalami perubahan bentuk; mekanismenya didesain
untuk menggerakkan bagian-bagian komponen sayap secara
terkirakan. Sayap serangga menggabungkan ke-dua hal ini;
dengan menggunakan komponen-komponen berelastisitas
berbeda, yang terakit sempurna agar terjadi
perubahan bentuk yang tepat untuk gaya-gaya
yang sesuai, sehingga udara dapat dimanfaatkan
seoptimal mungkin. Masih sedikit, kalaupun ada,
teknologi yang sebanding dengan mereka." 1
Sebaliknya,
tidak ada satu fosil pun yang dapat
membuktikan evolusi imajiner lalat. Inilah yang dimaksud
seorang ahli zoologi terkemuka Prancis, Pierre Grassé
ketika mengatakan "Kita tidak memiliki petunjuk apa pun
tentang asal usul serangga."2
1
Robin J. Wootton, "The Mechanical Design of
Insect Wings", Scientific American, Bd. 263,
November 1990, S.120
2 Pierre-P Grassé, Evolution of Living Organisms, New York, Academic Press, 1977, S. 30 |
Saya telah mempelajari
tengkorak-tengkorak burung selama 25 tahun dan saya tidak
melihat kemiripan apa pun. Saya benar-benar tidak
melihatnya.... Pernyataan bahwa Teropoda merupakan nenek
moyang burung, menurut pendapat saya, akan sangat mempermalukan
paleontologi abad ke-20. 13
Larry
Martin, spesialis burung purba dari Universitas Kansas,
membantah teori bahwa burung berasal dari garis keturunan
yang sama dengan dinosaurus. Ketika membahas kontradiksi yang dihadapi
evolusi, Martin menyatakan:
Terus terang, jika saya harus mendukung bahwa burung dengan karakteristik tersebut berasal dari dinosaurus, saya akan merasa malu setiap kali harus berdiri dan berbicara tentangnya. 14
Ringkasnya,
skenario "evolusi burung" yang didasarkan hanya pada
Archæopteryx, tidak lebih dari praduga dan angan-angan
evolusionis.
Asal Usul Mamalia
Sebagaimana
telah digambarkan, teori evolusi menyatakan bahwa
beberapa makhluk rekaan yang muncul dari laut berubah menjadi
reptil dan bahwa burung berasal dari reptil yang berevolusi.
Menurut skenario yang sama, reptil bukan hanya nenek
moyang burung, melainkan juga nenek moyang mamalia. Namun
struktur reptil dan mamalia sangat berbeda. Reptil
bersisik pada tubuhnya, berdarah dingin dan berkembang
biak dengan bertelur; sedangkan mamalia memiliki rambut pada tubuhnya,
berdarah panas dan bereproduksi dengan melahirkan anak.
Sebuah contoh perbedaan struktural antara reptil dan mamalia adalah struktur rahang mereka.
Rahang mamalia hanya terdiri dari satu tulang rahang dan
gigi-gigi ditempatkan pada tulang ini. Rahang reptil
memiliki tiga tulang kecil pada kedua sisinya. Satu lagi
perbedaan mendasar, mamalia memiliki tiga tulang pada
telinga bagian tengah (tulang martil, tulang sanggurdi dan tulang
landasan); sedangkan reptil hanya memiliki satu tulang.
Evolusionis menyatakan bahwa rahang dan telinga bagian
tengah reptil berevolusi sedikit demi sedikit menjadi
rahang dan telinga mamalia. Akan tetapi, mereka tak mampu
menjelaskan bagaimana perubahan ini terjadi. Khususnya,
pertanyaan utama yang tetap tidak terjawab adalah bagaimana telinga
dengan satu tulang berevolusi menjadi telinga dengan tiga
tulang, dan bagaimana pendengaran tetap berfungsi selama
perubahan ini berlangsung. Pantaslah tidak pernah
ditemukan satu fosil pun yang menghubungkan reptil dengan
mamalia. Inilah sebabnya seorang ahli paleontologi
evolusionis, Roger Lewin, terpaksa berkata, "Peralihan menjadi
mamalia pertama, yang mungkin terjadi dalam satu saja atau
maksimal dalam dua garis keturunan, masih menjadi
teka-teki". 15
Evolusionis
menyatakan bahwa semua spesies mamalia
berevolusi dari satu nenek moyang yang sama.
Akan tetapi, terdapat perbedaan besar antara
beragam spesies mamalia seperti beruang, paus,
tikus dan kelelawar. Masing-masing makhluk hidup
ini memiliki sistem yang didesain khusus. Misalnya, kelelawar
diciptakan dengan sistem sonar yang sangat sensitif
sebagai penuntun dalam kegelapan. Sistem
kompleks ini, yang hanya bisa ditiru teknologi
modern, tidak mungkin muncul sebagai hasil
kebetulan. Catatan fosil juga menunjukkan, kelelawar
muncul secara tiba-tiba dalam bentuk yang telah sempurna
seperti sekarang ini dan mereka tidak mengalami "proses
evolusi" apa pun.
Fosil
kelelawar berusia 50 juta tahun: tidak berbeda
dengan kerabat modernnya (Science, Vol. 154)
|
George Gaylord
Simpson, salah seorang tokoh utama evolusi dan pendiri
teori neo-Darwinisme, berkomentar mengenai fakta yang
sangat membingungkan evolusionis ini:
Peristiwa paling membingungkan dalam sejarah kehidupan di bumi adalah perubahan dari Mesozoic atau Zaman Reptil ke Zaman Mamalia. Seakan-akan
tirai diturunkan secara mendadak untuk menutup panggung
di mana seluruh peran utama dimainkan reptil, terutama
dinosaurus, dalam jumlah besar dan keragaman yang menakjubkan. Tirai
ini segera dinaikkan kembali untuk memperlihatkan panggung
yang sama tetapi dengan susunan pemain yang sepenuhnya
baru, yang sama sekali tidak melibatkan dinosaurus, dan
reptil lain hanya menjadi figuran, dan semua peran
utama dimainkan mamalia dari berbagai jenis yang hampir
tidak pernah disinggung dalam babak-babak sebelumnya.16
Selain
itu, ketika mamalia tiba-tiba muncul, mereka sudah
sangat berbeda satu sama lain. Hewan-hewan yang berbeda seperti
kelelawar, kuda, tikus dan paus semuanya adalah mamalia dan
mereka semua muncul pada periode geologi yang sama.
Mustahil menarik garis hubungan evolusi di antara mereka,
bahkan dalam batasan imajinasi yang paling luas
sekalipun. Ahli zoologi evolusionis, R. Eric Lombard,
mengemukakan hal ini dalam sebuah artikel majalah Evolution:
Mereka yang mencari informasi spesifik yang dibutuhkan dalam menyusun filogeni (sejarah dan perkembangan evolusi) kelompok-kelompok mamalia akan kecewa. 17
Semua
ini menunjukkan bahwa semua makhluk hidup muncul di
bu-mi secara tiba-tiba dan dalam bentuk sempurna, tanpa melalui
proses evolusi. Ini merupakan bukti nyata bahwa mereka telah
diciptakan. Akan tetapi, evolusionis berupaya menafsirkan
fakta bahwa makhluk hidup muncul dalam suatu urutan
sebagai indikasi adanya evolusi. Padahal urutan
kemunculan makhluk hidup adalah "urutan penciptaan",
karena mustahil membuktikan proses evolusi. Dengan penciptaan agung
dan tanpa cacat, lautan dan kemudian daratan dipenuhi makhluk
hidup, dan akhirnya manusia diciptakan.
Bertentangan
dengan kisah "manusia kera" yang diindoktrinasikan pada
masyarakat luas dengan propaganda media yang gencar, manusia
juga muncul di bumi secara tiba-tiba dan dalam keadaan telah
sempurna.
FOKUS: Mitos tentang Evolusi Kuda
Hingga
baru-baru ini, urutan imajiner evolusi kuda
telah dikemukakan sebagai bukti fosil terpenting
teori evolusi. Akan tetapi, saat ini banyak pendukung
evolusi berterus terang mengakui bahwa skenario evolusi
kuda telah hancur. Dalam sebuah simposium empat hari
mengenai masalah-masalah teori evolusi bertahap
yang diselenggarakan pada tahun 1980 di Field
Museum of Natural History, Chicago, dan
dihadiri 150 evolusionis, Boyce Rensberger, seorang
evolusionis yang memberikan sambutan, mengatakan bahwa
skenario evolusi kuda tidak didukung oleh catatan fosil
dan tidak ditemukan proses evolusi yang
menjelaskan evolusi kuda secara bertahap:
Seorang ahli
paleontologi kenamaan, Colin Patterson, direktur
Natural History Museum, Inggris, berkomentar
tentang skema "evolusi kuda" yang dipamerkan
untuk umum di lantai dasar museum tersebut:
Jadi,
apa yang mendasari skenario "evolusi kuda"?
Skenario ini dirumuskan dengan diagram-diagram
tipuan yang disusun berurutan dari fosil spesies-spesies
berbeda yang hidup pada periode sangat berlainan di India,
Afrika Selatan, Amerika Utara dan Eropa, se-mata-mata
mengikuti imajinasi evolusionis. Terdapat lebih
dari 20 diagram evolusi kuda yang diajukan para
peneliti. Semua diagram itu sangat berbeda satu
sama lain. Evolusionis tidak mencapai kesepakatan
tentang hal ini. Satu-satunya persamaan di antara mere-ka
keyakinan bahwa nenek moyang kuda (Equus) adalah makhluk
seukur-an anjing yang disebut "Eohippus", hidup dalam
Periode Eosin 55 juta tahun lalu. Akan tetapi,
jalur evolusi dari Eohippus ke Equus sama sekali
tidak konsisten.
Seorang
evolusionis yang juga penulis ilmu alam, Gordon
R. Taylor, menjelaskan kenyataan yang jarang
diakui ini dalam bukunya, The Great Evolution
Mystery:
Semua
fakta ini adalah bukti kuat bahwa
diagram-diagram evolusi kuda, yang dinyatakan
sebagai satu bukti paling kokoh untuk Darwinisme, tidak
lain hanyalah dongeng fantastis dan tidak masuk akal.
1 Boyce Rensberger, Houston Chronicle, 5. November 1980, S.15
2 Colin Patterson, Harper's, Februar 1984, S.60 3 Gordon Rattray Taylor, The Great Evolution Mystery, Abacus, Sphere Books, London, 1984, S. 230 |
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
- Robert L. Carroll, Vertebrate Paleontology and Evolution, New York: W. H. Freeman and Co., 1988, S. 198
- Engin Korur, "Gözlerin ve Kanatlarýn Sýrrý" (Das Mysterium der Augen und der Flügel), Bilim ve Teknik, Nr. 203, Oktober 1984, S. 25
- Nature, Bd. 382, 1. August 1996, S. 401
- Carl O. Dunbar, Historical Geology, New York: John Wiley and Sons, 1961, S. 310
- L. D. Martin, J. D. Stewart, K. N. Whetstone, The Auk, Bd. 98, 1980, S. 86
- Ýbid., S. 86; L. D. Martin, "Origins of Higher Groups of Tetrapods", Ithaca, New York, Comstock Publishing Association, 1991, S. 485, 540
- S. Tarsitano, M. K. Hecht, Zoological Journal of the Linnaean Society, Bd. 69, 1985, S. 178; A. D. Walker, Geological Magazine, Bd. 177, 1980, S. 595
- Pat Shipman, "Birds do it... Did Dinosaurs?", New Scientist, 1. Februar 1997, S. 31
- "Old Bird", Discover, 21. März 1997
- Ýbid.
- Pat Shipman, "Birds Do It... Did Dinosaurs?", New Scientist, 1. Februar 1997, S. 28
- S. J. Gould & N. Eldredge, Paleobiology, Vol 3, 1977, hlm. 147.
- Pat Shipman, "Birds Do It... Did Dinosaurs?", S. 28
- Roger Lewin, "Bones of Mammals, Ancestors Fleshed Out", Science, Bd. 212, 26. Juni 1981, S. 1492
- George Gaylord Simpson, Life Before Man, New York: Time-Life Books, 1972, S. 42
- R. Eric Lombard, "Review of Evolutionary Principles of the Mammalian Middle Ear, Gerald Fleischer", Evolution, Bd. 33, Dezember 1979, hlm. 1230
Sumber : http://www.evolutiondeceit.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar